KRITIK DAN ESAI SASTRA
Pengertian Kritik Sastra
💥Menurut Wellek (1978) Kritik sastra adalah studi karya sastra yang konkret dengan penekanan pada penilaiannya.
💥Flint dan Hibbard (1960) Kritik sastra adalah keterangan, kebenaran analisis atau judgment (penghakiman) atas suatu karya sastra.
Abrams (1981) Kritik sastra adalah suatu studi yang berkenaan dengan pembatasan, pengkelasan, penganalisisan dan penilaian karya sastra.
💥Hudson (1955) Kritik sastra dalam artinya yang tajam adalah penghakiman terhadap karya sastra yang dilakukan oleh seorang ahli atau yang memiliki kepandaian khusus untuk memudahkan pemahaman karya sastra, memeriksa kebaikan dan cacat-cacatnya dan menentukan pendapatnya tentang hal tersebut.
💥Jassin (1945) Kritik sastra adalah pertimbangan baik buruk suatu karya sastra, seta penerangan dan penghakiman karya sastra.
💥Pradopo (1994) Kritik sastra adalah ilmu sastra untuk “menghakimi” karya sastra, untuk memberikan penilaian dan memberikan keputusan bermutu atau tidak, suatu karya sastra yang sedang dihadapi kritikus.
💥Hardjana (1981) Kritik sastra adalah sebagai hasil usaha pembaca dalam mencari dan menentukan nilai hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran sistemik: yang dinyatakan dalam bentuk tertulis.
💥Jadi, kritik sastra merupakan telaah terhadap suatu karya sastra yang bersifat menghakimi karya sastra orang lain, dengan cara menilai baik dan buruknya suatu karya sastra, membandingkan, serta mencari kesalahan karya sastra yang dihadapi, melalui pemahaman yang objektif.
Jenis-jenis Kritik Sastra
1. Jenis Kritik Sastra Berdasarkan Bentuknya
Berdasarkan bentuknya, kritik sastra dibedakan menjadi kritik teoretik dan kritik praktik (Abrams,1981).
a. Kritik teoretik adalah bidang kritik sastra yang berusaha menetapkan atas dasar prinsip-prinsip umum, seperangkat istilah-istilah yang tali-temali, perbedaan-perbedaan dan kategori-kategori untuk diterapkan pada kriteria (standar atau norma-norma) yang dengan hal tersebut karya sastra dan sastrawannya dinilai.
b. Kritik praktik mengacu pada praktik kritik yang telah diterapkan oleh para kritikus dalam mengkritik karya sastra.
2. Jenis Kritik Sastra Berdasarkan Pelaksanaannya
Menurut pelaksanaan (praktik) kritiknya, kritik sastra dibedakan menjadi kritik judisial, kritik induktif dan kritik impresionistik (Abrams dan Hudson via Pradopo, 1994).
a. Kritik judusial adalah kritik sastra yang berusaha menganalisis dan menilai karya sastra atas dasar standar-standar umum tentang kehebatan atau keluarbiasaan sastra yang telah ditetapkan sebelumnya.
b. Kritik induktif adalah kritik sastra yang menguraikan bagian-bagian sastra berdasarkan fenomena-fenomena yang ada secara objektif.
c. Kritik impresionistik adalah kritik sastra yang mengemukakan kesan-kesan (impresi) kritikus terhadap karya sastra yang telah dibacanya.
3. Jenis Kritik Sastra Berdasarkan Orientasinya Terhadap Kaaya Sastra
Berdasarkan orientasinya terhadap karya sastra, Abrams (1981) membedakan kritik mimetik, kritik pragmatik, kritik ekspresif, dan kritik objektif.
a. Kritik mimetik adalah kritik yang berorentiasi atau memfokuskan perhatian pada hubungan karya sastra dengan realitas atau kenyataan.
b. Kritik pragmatik adalah kritik yang berorientasi atau memfokuskan perhatian kepada tanggapan pembaca terhadap karya sastra dan dampak atau pengharu sastra pada pembaca.
c. Kritik ekspresif adalah kritik sastra yang berorientasi atau memfokuskan perhatian kepada pengarang sebagai pencipta karya sastra.
d. Kritik objektif adalah kritik yang berorentasi atau memfokuskan perhatian kepada karya sastra itu sendiri.
4. Jenis Kritik Sastra Berdasarkan Kritikus dan Ragam Penulisannya (Pradopo,1994)
a. Kritik sastra akademik atau ilmiah adalah kritik sastra yang ditulis oleh para ahli sastra yang pada umumnya pada sarjana sastra dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.
b. Kritik sastra Jurnalistik atau kritik sastrawan ditulis oleh para kritikus sastrawan atau pun umum dengan tidak mempergunakan teori dan metode ilmiah.
Tujuan Kritik Sastra
1. Pertimbangan atau penjelasan tentang karya sastra serta prinsip-prinsip terpenting tentang karya tersebut kepada penikmat yang kurang dapat memahaminya.
2. Menerangkan seni imajinatif sehingga mampu memberikan jawaban terhadap hal-hal yang dipertanyakan pembaca.
3. Membuat aturan-aturan untuk para pengarang dan mengatur selera pembacanya.
4. Mengainterprestasikan suatu karya sastra terhadap pembaca yang tidak mampu memberikan apresiasi.
5. Memberi keputusan atau pertimbangan dengan ukuran penilaian yang telah ditetapkan.
6. Menemukan dan mendapatkan asas yang dapat menerangkan dasar-dasar seni yang baik.
Contoh Kritik Sastra
HIDUP DARI OMBAK
Dari pembacaan sepintas lalu, jelas bahwa ada dua unsur yang sangat menentukan pemahaman sajak “Ombak Itulah” yang pertama adalah judulnya. Pemakaian kata “itu” menyarankan kita berurusan dengan ombak yang sudah kita kenal, tetapi saran itu bertentangan dengan kenyataan bahwa kata itu terdapat pula pada awal sajak sehingga pemakaian anafora tidak mungkin dilakukan. Akibatnya kita terpaksa meninggalkan otonomi sajak ini.
Hal kedua yang menentukan interpretasi sajak ini adalah hubungan “aku-kau” yang sangat menonjol. Hubungan keduanya sangat erat dari awal sampai akhir, tetapi tidak dieksplisitkan. Dalam situasi semacam ini, saya terpancing untuk meneliti semua sajak yang terkandunng dalam kumpulan sajak tersebut. Saya mulai membaca kumpulan ”Tergantung Pada Kata” yang memuat sajak “Ombak itulah”. Makin lama makin jelas bahwa dalam kumpulan sajak itu soal makna dan nilai lambang kata ombak, hubungan antara aku–kau sangat sering dijumpai. Dari 52 sajak dalam kumpulan ini, ada 38 sajak (75%) menyebutkan secara eksplisit kau dan aku.
Golongan sajak kedua menggunakan kau dan –mu yang merujuk pada Tuhan. Namun, ada kalanya ditulis dengan huruf besar, ada kalanya tidak, walaupun menurut penafsiran saya kau dan -mu di sini juga menunjuk pada Tuhan……………………………………………………………………………………………………
(Dikutip dari A. Teeuw. 1980. Tergantung Pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya, halaman 131-143)
Uraian Contoh
Berdasarkan contoh kritik sastra di atas, dapat disimpulkan bahwa di dalam kumpulan sajak ”Tergantung Pada Angin” ada sajak yang memuat sajak “Ombak Itulah” dan makna yang terkandung di dalam sajak tersebut menyarankan kita berurusan dengan ombak dalam pemakaian kata “itu”. Hal tersebut bertentangan dengan kenyataan karena kata itu terdapat pula pada awal sajak sehingga pemakaian anafora tidak mungkin dilakukan.
Dan hubungan “aku-kau” di dalam sajak tersebut sering dijumpai dan sangat berhubungan erat, namun tidak dieksplisitkan, yaitu dari 52 sajak ada 38 sajak yang menyebutkan secara eksplisit kata “aku-kau”. Serta adanya penulisan kata Tuhan pada golongan sajak kedua yang ditulis dengan huruf kecil (tuhan), seharunya ditulis dengan huruf besar (Tuhan).
Cara Menulis Kritik Sastra
1. Sebelum memberi kritik, kritikus harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang hal yang akan dikritik. Sebagai contoh, jika akan mengkritik suatu cerpen, kritikus harus mempunyai pengetahuan luas tentang cerpen.
2. Sebelum mengkritik, pelajari dengan cermat karya yang akan dikritik. Pahami segala istilah yang terdapat dalam karya. Baca juga bahan rujukan karya tersebut.
3. Setelah itu, buatlah catatan objektif tentang kelebihan dan kekurangan hal yang akan dikritik.
4. Sebelum kritik disampaikan, pikirkan kembali “bagaimanakah perasaan saya jika dikritik semacam ini?”
5. Saat menyampaikan kritik, melalui tulisan atau lisan, perhatikan penggunaan bahasa. Gunakan bahasa yang tidak menyerang orang dan tidak menyakitkan hati. Beri penilaian yang jujur dan objektif, tetapi tetap santun. Kritik harus memiliki alasan yang masuk akal atau logis.
Kritik sastra memiliki peran sebagai jembatan penghubung antara karya sastra dengan masyarakat penikmat sastra. Sumbangan pikiran dan analisis pengkritik yang baik bisa menimbulkan minat yang menyala-nyala bagi pembaca-pembaca lain untuk membaca karya tersebut.
Di samping itu, kritik sastra dapat pula dijadikan alat pemandu bakat para penulis-penulis yang telah berkarya. Bahkan untuk pengarang, kritikus dapat menjadi propagandis yang baik bagi karya-karya mereka. Dalam mengemban misinya, para kritikus dituntut suatu rasa tanggung jawab dan kejujuran, terutama kejujuran dalam mengembangkan profesi dan kejujuran terhadap hati nurani.
Oleh karena itu, marilah kita menulis kritik sastra sebagai apresiasi kita terhadap suatu karya orang lain. Sehingga karya sastra kedepannya lebih berkembang dan bernilai dalam meningkatkan kualitasnya.
Adapun manfaat menulis kritik:
1. Kritik sastra berguna bagi perkembangan sastra
Dalam mengkritik, kritikus akan menunjukan hal yang bernilai/tidak bernilai dari suatu karya sastra. Kritikus bisa jadi akan menunjukan kebaruan-kebaruan dalam karya sastra, hal-hal apa saja yang belum digarap oleh sastrawan. Dengan demikian sastrawan dapat belajar dari kritik sastra untuk lebih meningkatkan kecakapannya dan memperluas cakrawala kreativitas, corak, dan mutu karya sastranya. Jika sastrawan-sastrawan dalam di negara tertentu mengahsilkan karya-karya yang baru, kreatif, dan berbobot, maka perkembangan sastra negara tersebut juga akan meningkat pesat, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Dengan kata lain, kritik yang dilakukan kritikus akan meningkatkan kualitas dan kreatifitas sastrawan, dan pada gilirannya akan meningkatkan perkembangan sastra itu sendiri.
2. Kritik sastra berguna untuk penerangan bagi pembaca
Dalam melakukan kritik, kritikus akan memberikan ulasan, komentar, menafsirkan kerumitan-kerumitan, kegelapan-kegelapan makna dalam karya sastra yang dikritik. Dengan demikian, pembaca awam akan mudah memahami karya sastra yang dikritik oleh kritikus. Di sisi lain, ketika masyarakat sudah terbiasa dengan apresiasi sastra, maka daya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra akan semakin baik. Masyarakat dapat memilih karya sastra yang bermutu tinggi (karya sastra yang berisi nilai-nilai kehidupan, memperhalus budi, mempertajam pikiran, kemanusiaan, dan kebenaran).
3. Kritik sastra berguna bagi ilmu sastra itu sendiri
Analisis yang dilakukan kritikus dalam mengkritik tentulah didasarkan pada referensi-referensi, teori-teori yang akurat. Tidak jarang pula, perkembangan teori sastra lebih lambat dibandingkan dengan kemajuan proses kreatif pengarang. Untuk itu, dalam melakukan kritik, kritikus seringkali harus meramu teori-teori baru. Teori-teori sastra yang baru inilah yang justru akan semakin memperkembangkan ilmu sastra itu sendiri.
4. Memberi sumbangan pendapat untuk menyusun sejarah sastra
Dalam melakukan kritik, kritikus tentu akan menunjukan ciri-ciri sastra yang dikritik secara struktural (ciri-ciri intrinsik). Tidak jarang pula kritikus akan mencoba mengelompokan karya sastra yang dikritik ke dalam karya sastra yang berciri sama. Kenyataan inilah yang dapat disimpulkan bahwa kritik sastra sungguh membantu penyusunan sejarah sastra.
Pengertian Esai
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian Esai adalah karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi penulisnya.
Pengertian Esai menurut Soetomo adalah Esai sebagai suatu karangan pendek berdasarkan cara pandang seseorang dalam menyikapi suatu masalah. Dengan pengertian lain esai adalah karya tulis dalam bentuk opini atau pendapat seseorang terhadap sebuah permasalahan yang sedang banyak dibicarakan atau menarik perhatian penulis esai. Esai serupa dengan tajuk rencana di sebuah surat kabar, namun sedikit berbeda. Apabila tajuk rencana hanya dapat ditulis oleh kepala editor, esai bisa dutulis oleh siapa saja.
Ciri-Ciri Esai
Pada umumnya suatu karya bisa digolongkan ke dalam esai yakni jika mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
- Karangan Pendek
Esai adalah salah satu jenis prosa yang merupaka karya sastra dalam bentuk tulisan. Esai dibaut atau ditulis dalam jumlah kalimat yang pendek (singkat) oleh sebabnya isinya berupa kajian yang singakt padat serta jelas.
- Mempunyai Gaya Bahas Khas
Esai bisa ditulis oleh semua orang yang berfikir suatu permasalahan atau mengangkat permasalahan untuk diperbincangkan, sehingga esai mempunyai gaya bahasa yang khas sesuai dengan karakter penulisnya.
Esai Menurut Jos Daniel Parera dalam Menulis Tertib dan Sistematik Edisi Kedua (1993), esai adalah karangan atau tulisan dalam bentuk prosa tentang apa saja.
Penulisan esai bersifat individual. Maksudnya, pemikiran dan pandangan yang disampaikan dalam esai adalah pandangan personal penulisnya.
Masing-masing penulis esai memiliki gaya kepenulisannya masing-masing. Metode dan teorinya tidak kaku seperti kritik sastra, tetapi tetap memenuhi kaidah kepenulisan yang utuh.
Esai mencakup narasi serta kesimpulan yang logis agar dapat dipahami dengan baik oleh pembaca.
Dapat disimpulkan, ciri esai yang menjadi pembeda karangan lainnya, yaitu:
- Ditulis secara naratif dalam bentuk prosa.
- Tulisan tidak terlalu panjang, sehingga dapat dinikmati pembaca dengan lebih santai.
- Tiap penulis esai memiliki gaya kepenulisan yang khas.
- Esai berisi bagian yang penting dan menarik saja dari obyek dan subyek pembahasaan, sehingga esai terkesan tidak utuh.
- Secara kepenulisan, esai harus memenuhi kaidah keutuhan karangan.
- Esai merupakan pandangan personal atau pribadi penulisnya.
Jenis-Jenis Esai
Jenis atau macam-macam esai dapat dibagi menjadi beberapa macam atau kategori. Hal ini berdasarkan keterampilan analisis juga diperlukan dalam menulis esai, keragaman permasalahan yang muncul. Berikut ini beberapa macam atau jenis esai, antara lain:
- Deskriptif
Adalah jenis esai yang mendeskripsikan seseorang atau benda “subjek atau objek” yang menarik perhatian pengarang. Objek yang dideskripsikan dalam jenis esai ini bisa dalam bentuk rumah, hewan, dan lain sebagainya. Inti dalam esai jenis ini yaitu penulis mendeskripsikan suatu objek yang menarik perhatiannya.
- Tajuk
Adalah jenis esai yang biasa dimuat pada surat kabar. Jenis esai ini membahas isu-isu yang tengah berkembang di masyarakat seperti “politik, kebijakan pemerintah dan lain sebagainya”. Esai tajuk seringkali dimuat dalam kolom pendapat/opini yang merupakan wadah aspirasai dari masyarakat untuk mengungkapkan pandangannya terhadap isu yang sedang berkemang.
Tidak hanya kebijakan politik, esai tajuk bisa dalam bentuk fashion atau hal lain. Disesuaikan dengan jenis surat kabar seperti koran, majalah otomotif, fashion dan lain sebagainya.
- Cukilan Watak
Dalam esai jenis ini memungkinkan seorang penulis menjelaskan cukilan atau cuplikan watak seseorang terkait isu kepada para pembaca. Penulis membeberkan beberapa segi kehidupan individu seorang tokoh kepada para pembaca. Dalam esai ini tidak menulis kisah seseorang atau biografi, hanya saja penulis mengungkapkan sepenggal watak yang ada pada tokoh yang terkait dalam cerita atau isu dalam esai tersebut.
- Pribadi
Hampir mirip dengan esai cukilan watak, namun dalam esai pribadi, penulis esai bercerita tentang dirinya sendiri dalam esai tersebut. Dengan jelas penulis mengungkapkan pendapatnya tentang isu yang menarik perhatiannya.
- Reflektif
Adalah esai yang ditulis untuk merenungkan suatu isu politik, kebijakan pemerintah, dan isu penting lain yang sering kali ditulis oleh seorang cendekiawan dalam menanggapi isu-isu yang ada.
- Kritik
Adalah jenis esai yang berisi sebuah kritikan kepada suatu “karya seni”.
Walaupun tidak ada format khusus dalam menulis esai, tetapi tulisan esai bisa digolongkan menjadi bagian-bagian yakni:
Pertama: Di bagian awal-awal “pertama” penulis menjelaskan latar belakang suatu masalah.
Tengah: Di bagian ini adalah bagian yang isinya tentang informasi terkait isu dan pendapat penulis.
Akhir: Adalah bagian final atau kesimpulan pandangan penulis tentang isu yang sedang dibicarakan. Sebagian penulis menyajikan hasil pengamatan atau penelitian di bagian akhir ini.
Cara Menulis Esai
Dalam menulis esai terdapat beberapa acuan yang harus diperhatikan atau langkah-langkah yang dapat digunakan, yaitu:
- Menentukan tema isu yang hendak diangkat
- Membuat garis besar ide pokok yang akan dikembangkan di paragraf
- Mengembangkan ide pokok para paragraf dan juga pendapat penulis terhadapnya.
Perbedaan kritik sastra dan esai adalah kritik sastra ialah karangan yang ditujukan untuk menanggapi karya sastra, sedangkan esai ialah karangan opini pribadi.
Berikut ini penjelasan tentang perbedaan kritik sastra dan esai: H.B. Jassin dalam Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai (1967) berpendapat, kalau kita kemukakan pendapat, maka itu adalah dari salah satu jurusan pandangan, yang mungkin diterima mungkin tak diterima oleh pihak-pihak yang bertentangan.
Persamaan kritik sastra dan esai adalah sama-sama disampaikan atau ditulis berdasarkan pendapat dari sudut pandang pribadi. Pertentangan bahkan polemik dalam dunia sastra dan literasi merupakan hal lumrah.
Baik kritik sastra maupun esai, dapat memperkaya dan memperluas wawasan pembacanya. Agar lebih memahami, kita perlu mengenali perbedaan kritik sastra dan esai.
Mengutip Dina Gasong dalam Bahan Ajar Mata Kuliah Kritik Sastra (2018), kritik sastra adalah usaha memberikan tanggapan, pertimbangan, penulaian suatu karya dengan memperlihatkan keunggulan dan kelemahan dari suatu karya.
Kritik sastra berkaitan dengan karya sastra, baik itu cerpen, novel, atau drama.
Menulis kritik sastra merupakan salah satu bentuk apresiasi terhadap pengarang. Kritik sastra juga dapat menjadi jembatan antara pembaca dan pengarang. Pada titik tertentu, penilaian terhadap karya sastra ditulis berdasarkan metode dan teori kritik serta kesusastraan.
Kesimpulannya, ciri kritik sastra yang menjadi pembeda dengan esai atau karangan lainnya, yaitu:
- Ditujukan untuk menanggapi atau mengomentari karya sastra.
- Menungkapkan kelebihan dan kekurangan dalam karya sastra.
- Kritik sastra dapat dilengkapi dengan saran.
- Menjadi sarana apresiasi.
Menyetiai Siswa Miskin
Sudah jelek, miskin, kurang cerdas, dan hidup lagi! Begitulah Tukul sering berolok-olok. Anak-anak seperti itulah yang dari tahun ke tahun memenuhi sekolah-sekolah yayasan kami. Apakah mesti merasa sial mengelola sekolah semacam ini? Adakah alasan untuk menyetiai siswa-siswanya?
Untuk apa sekolah dibangun? Ini pertanyaan penting dalam menyikapi realitas sekolah kami yang sebagian besar dipenuhi anak-anak miskin. Sekolah adalah ruang mengolah hidup. Di sekolah seseorang ditumbuhkembangkan kepribadiannya. Jadi semestinya tak masalah dengan anak macam apa pun di sekolah, termasuk yang ringkih modal hidupnya. Namun, jujur saja, tidak mudah menyetiai siswa macam ini.
Siswa yang miskin, lusuh, kurang cerdas lagi, sering disikapi sebagai kesialan. Sesungguhnya yang lebih sial adalah ketika mereka tidak mendapat kesempatan mengolah hidupnya dengan belajar di sekolah. Anak-anak semacam itulah yang banyak penulis jumpai di kelas.
Mereka adalah representasi anak bangsa yang dikalahkan karena kemiskinan. Untung saja yayasan berkomitmen memberi ruang bagi mereka. Kami berharap sekolah kami memberi kesempatan bagi tumbuh kembangnya kepribadian mereka.
Kemiskinan menjadikan mereka kurang cerdas. Sebagian besar dari mereka adalah lulusan sekolah yang tak memiliki tradisi studi yang baik. Jadi, tak mudah mengajak mereka bertekun di kelas. Oleh karena itu, kami sadar terlalu berat menggusur prestasi siswa sekolah favorit yang leluasa merekrut anak-anak cerdas, berkecukupan, dan memiliki tradisi studi yang baik.
Satu hal yang kami perjuangkan adalah menghentikan ”kesialan” jalan hidup anak-anak kami. Kalau ada satu dua lulusan kami yang akhirnya bisa bersaing dengan anak-anak dari sekolah favorit, itu sudah luar biasa.
Kalau ada anak-anak kami yang lulus dengan kesadaran pentingnya peduli terhadap perjuangan nasib diri sendiri, itu menjadi kepuasan kami sebagai pendidik. Kami pandang mereka telah menyingkap tempurung hidupnya karena kemiskinan. Bukankah ini hakikat pendidikan yang berjuang menyingkap keterbelengguan diri?
Bagi kami yang telah lama bergulat dengan anak-anak miskin, ada banyak pergulatan hidup sebagai pendidik selama mendampingi mereka. Seorang sahabat kami dibuat menangis ketika siswinya tak mau ikut ujian karena lebih memilih bekerja demi menghidupi keluarganya.
Sahabat lain merasakan kebermaknaan sebagai pendidik ketika menjemput paksa sejumlah siswa agar mau mengikuti ujian meski belum melunasi uang sekolah.
Yang lain lagi merasa lega ketika semua siswanya bisa mengikuti ujian meski untuk itu ia harus mengemis kepada para donatur demi biaya ujian para siswanya. Ada juga yang bersyukur sekaligus geli karena beberapa kali harus rela menjual burung peliharaan untuk biaya akomodasi lomba para siswanya.
Pada realitas semacam itu, anak-anak miskin di sekolah sesungguhnya menjadi penuntun dalam pergulatan hidup seorang guru. Mereka seperti menciptakan outbound bagi tumbuh kembangnya jiwa kami sebagai pendidik. Mereka ”memaksa” kami untuk mengajar dengan cara sesederhana dan sekreatif mungkin. Lemahnya daya nalar serta rendahnya daya tahan untuk bertekun di kelas mendidik kami untuk semakin sabar.
Anak-anak itu membantu kami melompati batas-batas hidup (boundaries of life) sebagai pendidik. Mereka adalah penolong kami yang nyata untuk menjumput kebermaknaan hidup sebagai pendidik. Bersama anak miskin, kami tidak hanya menjadi guru yang mengajarkan pengetahuan. Lebih dari itu mereka membantu kami belajar menjadi manusia yang sempurna.
Meski demikian, tak banyak guru yang sempat menjumput kebermaknaan hidup bersama siswa-siswanya yang miskin. Banyak guru dari sekolah kaya lagi favorit tak rela pindah ke sekolah miskin. Mereka merasa dibuang ketika dimutasi ke sekolah miskin. Pasalnya, di sekolah miskin pendapatan mereka di luar gaji pokok menurun drastis, tak ada kegagahan fisik, juga tak lagi berjumpa para murid menarik.
Arus hedonisme, konsumerisme, dan pragmatisme telah menggusur idealisme banyak guru. Semua diukur dengan uang dan kemutakhiran fasilitas. Apalagi tahun-tahun ini perhatian guru sering dimobilisasi oleh gaji dan beragam tunjangan. Dinamika pendidikan yang lebih menyeruakkan penampilan semacam bangunan gedung dan beragam kegiatan mewah membuat guru tak lagi menjumput pergulatan sebagai pendidik. Sekolah miskin pun menjadi kesialan.
Sampai di sini kita bertanya, generasi macam apakah yang akan lahir dari pendidik yang nihil idealisme dan pergulatan?
DAFTAR PUSTAKA
Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Semi Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.
Sayuti, Suminto A. dan Wiyatmi. 2008. Kritik Sastra. Jakarta: Universitas Terbuka.
Wellek Rene. 1978. Concep of Criticism.
Flint William, Hibbard Adaison. 1960. A Handbook to Literature.
Jassin H. B. 1945. Sastra Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay.
Pradopo. 1994. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra.
Hardjana Andre. 1981. Kritik Satra:Sebuah Pengantar.